Keberadaan Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, sebagai pusat pengamatan astronomi di Indonesia kian terancam oleh pesatnya pengembangan kawasan permukiman di kawasan tersebut. Selain itu, Lembang juga berada di jalur gempa Patahan Lembang.
”Maka, sebaiknya didirikan observatorium lain di wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia luas, terbagi tiga zona waktu. Sayang jika hanya ada satu observatorium,” ujar Kepala Observatorium Bosscha Hakim L Malasan di sela-sela jumpa pers Conference of The Earth and Space Science di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (6/1/2010).
Kondisi di sekitar kawasan Observatorium Bosscha saat ini dinilai kurang layak untuk mendukung pengamatan bintang dan benda-benda antariksa lainnya. Bermunculannya vila-vila baru, tempat wisata, dan perumahan di sekitar Lembang telah mengakibatkan polusi cahaya.
Kawasan Lembang yang kini kian terang benderang makin mempersulit pengamatan di Observatorium Bosscha, khususnya terhadap bintang-bintang redup.
Di sisi lain, kawasan Observatorium Bosscha, yang terletak sekitar 15 kilometer sebelah utara Kota Bandung, ternyata juga dilintasi jalur gempa Patahan Lembang. Patahan ini terbentang dari Sukabumi sampai Lembang.
Akibat gempa Tasikmalaya pada September 2009, misalnya, sejumlah bangunan dan fasilitas di observatorium, yang didirikan pada 1923, ini rusak minor. Di rumah teropong Zeiss besar, gempa mengakibatkan pergeseran pelat refraktor dan lepasnya sekrup. Selain itu, tembok juga retak-retak di Wisma Kerkhoven dan rumah teropong surya.
Meskipun demikian, Malasan, yang baru dilantik sebagai Kepala Observatorium Bosscha menggantikan Taufiq Hidayat, mengatakan, pihaknya tidak berencana memindahkan alat dan fasilitas pengamatan bintang di Bosscha ke tempat lain yang lebih mendukung.
Meskipun belum pernah memicu gempa besar, Patahan Lembang, menurut Prof Sri Widiyantoro, seismolog ITB, diketahui aktif dan menyimpan potensi bahaya gempa. Berdasarkan catatan, dalam setahun terjadi puluhan kali gempa kecil di sekitar Lembang.
Upaya penguatan struktur bangunan (retrofitting) akan menjadi pilihan bijaksana.
”Dalam satu dua bulan ke depan ini peta zonasi nasional (gempa) segera selesai dibuat. Ini nantinya akan menjadi rujukan, standar nasional Indonesia di dalam mendirikan bangunan,” katanya
Chatief Kunjaya, peneliti astronomi ITB, mengatakan, puluhan tahun lalu, hampir tidak mungkin dilakukan pengamatan terhadap obyek langit terutama bintang yang memiliki variabilitas cahaya, misalnya bintang redup.
”Tetapi, dengan teknik baru yang diperkenalkan 10 tahun lalu di dunia, kami bisa mendapatkan data bagus. Bosscha masih terus melakukan uji coba,” kata Chatief.
0 komentar:
Posting Komentar